Kebijakan Tak Boleh Tinggal Kelas Masih Bingungkan Guru
Selasa, 3 Desember 2013 | 12:23
WIB
SURABAYA, KOMPAS.com — Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang tak membolehkan siswa sekolah dasar tinggal kelas bertujuan baik agar siswa bisa berkembang sesuai dengan potensinya. Namun, kebijakan ini bisa menjadi tidak efektif jika tidak disertai perubahan metode belajar di kalangan guru.
Sejumlah
guru juga masih kebingungan dengan kebijakan tersebut. ”Terus bagaimana jika
siswa kelas I SD belum bisa membaca dan menulis, apakah harus naik kelas juga?”
kata Sutini, Kepala SDN Suwanggaling IV Kota Surabaya, Senin (2/12/2013). Ia
dimintai tanggapannya soal kebijakan baru Kemendikbud yang tidak membolehkan
siswa SD tinggal kelas. Pemerintah juga menghapus kebijakan ujian nasional di
sekolah dasar.
Kepala
Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemendikbud Ramon Mahondas mengatakan,
penghapusan siswa tinggal kelas untuk memotivasi siswa meningkatkan potensinya.
Karena itu, guru di 150.000 sekolah dasar akan segera diberikan pelatihan.
Murid
yang belum memahami pelajaran tetap boleh naik kelas, tetapi harus mengulang
pelajaran yang belum dikuasai. Bentuk penilaian rapor SD juga berubah, tidak
lagi berisi angka-angka, tetapi berbentuk deskriptif untuk menilai sikap,
keterampilan, dan pengetahuan. ”Penilaian di SD tidak ada angka, tetapi
narasi,” ujarnya.
Kebijakan ini sebenarnya
sudah diterapkan di negara-negara maju. Meski demikian, kebijakan ini menuntut
guru memahami secara mendalam karakter dan potensi siswa.
Sulitkan anak
Menurut
Sutini, jika anak dipaksakan naik kelas, justru akan menyulitkan anak karena
materi pelajarannya lebih sulit. ”Guru yang melakukan evaluasi tentu lebih tahu
kondisi setiap anak,” kata Sutini.
Hal
yang sama dikatakan Wakil Kepala SD Katolik Santa Maria Kota Surabaya Christina
Purtiwi. Menurut dia, naik tidaknya murid adalah otonomi sekolah yang
disepakati dalam rapat dewan guru. ”Kami tidak akan paksakan anak naik kelas
kalau kemampuannya belum memadai. Kepada orangtuanya pun kami jelaskan,” kata
Christina.
Wakil
Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SDK Santo Carolus, Surabaya, Florentinus
Lusiyanto menyatakan kurang setuju jika sistem tinggal kelas ditiadakan.
”Jadi, apa gunanya mengukur keberhasilan siswa kalau pada akhirnya akan naik kelas semua?” kata Florentinus.
”Jadi, apa gunanya mengukur keberhasilan siswa kalau pada akhirnya akan naik kelas semua?” kata Florentinus.
Sulit terukur
Ketua
Dewan Pendidikan Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Dimyati juga masih belum
memahami kebijakan pemerintah yang tidak membolehkan siswa SD tinggal kelas.
”Prestasi siswa akan sulit terukur,” ujarnya.
Sekretaris
Dewan Pendidikan Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Wijanarto justru memiliki
pendapat berbeda. Menurut dia, sistem itu mendorong guru untuk lebih intensif
memperhatikan siswa. Meski demikian, komposisi guru dan siswa harus
dipertimbangkan. Jika menerapkan sistem itu, idealnya guru mengawasi maksimal
20 anak, sedangkan saat ini banyak guru yang mengajar 40 siswa.
(FRN/ESA/REK/WIE/LUK)
Sumber : KOMPAS CETAK
Editor : Caroline Damanik
0 komentar:
Posting Komentar